Rabu, 20 Oktober 2021

Fanatisme di Indonesia

‘’Fanatisme di Indonesia’’

        Fanatisme berasal dari kata “fanatic” dan “isme”. Fanatik adalah sebuah sikap yang menggambarkan dimana seseorang atau kelompok melakukan atau mencintai sesuatu hal secara serius dan sungguh-sungguh (HIdayatullah, 1995 Hal. 56). Sedangkan Isme berarti suatu bentuk sikap yang penuh keyakinan (kepercayaan). Melihat masyarakat Indonesia sejauh ini dapat kita rasakan juga kita lihat bahwa masyarakat Indonesia sangat akrab dengan kasus fanatisme yang kerap terjadi. Hal ini didukung dengan data dari UNESCO yang menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia yang hanya berkisar 0,001%. Itu artinya dari 1000 orang yang rajin membaca hanya 1 orang saja. Akibat dari rendahnya minat baca masyarakat Indonesia mengakibatkan masyarakat Indonesia mengalami “logical fallacy” atau yang biasa disebut dengan kesalahan dalam penalaran. Hal tersebutlah yang mendasari adanya stereotip yang muncul di masyarakat kita saat ini. Stereotip dapat kita jumpai hamper diseluruh bidang yang ada.

            Beberapa contoh kasus akibat adanya fanatisme bisa kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dari segi politik, pendidikan, keluarga, dll. Sebagai contoh, murid akan selalu menganggap benar segala keputusan dari gurunya tanpa mencari tau lebih lanjut. Kita juga akan langsung mempercayai nasehat-nasehat dan syari’at pemuka agama padahal belum tentu nasehat/syari’at tersebut  sesuai dengan kehidupan kita saat ini. Tentu saja apabila hal ini terus terjadi tanpa adanya edukasi lebih lanjut akan berakibat fatal untuk jangka panjang kedepannya. Ketika kasus fanatisme diatas sudah ditahap akut maka masyarakat akan mengalami logical fallacy yang mengakibatkan hambatan dalam komunikasi.

Menurut Joseph De Vito (2013, hal 14) menyebutkan ada empat hambatan dalam komunikasi. Salah satunya adalah Psychological Noise yang mana adalah suatu hambatan dalam berkomunikasi yang mengenai mental seseorang dimana seseorang tersebut sulit untuk menerima informasi yang ada dikarenakan pemikirannya tertutup dan adanya emosi negative yang sangat ekstrim. Hal ini bis akita lihat dari fans dan fandom dari klub sepak bola dan K-pop yang ada di Indonesia. Bagi klub sepak bola misalnya, mereka yang sudah fanatic dengan tim sepak bola tertentu tidak akan terima apabila tim sepak bola yang dia dukung kalah. Akibatnya terjadilah perkelahian massa antar pendukung kedua tim sepak bola. Tidak jarang kekerasan yang terjadi hingga meregang nyawa seseorang.

Sedangkan jika kita melihat fandom dari para fans K-pop dapat kita temui bahwa para fans dari idol K-pop ada yang sampai membuat badan hukum demi melindungi idolanya di dunia maya. Tak jarang banyak para korban dari dunia maya yang diserang fans K-pop akibat komentar yang tidak sesuai dengan para fandom idola K-pop.

Selasa, 19 Oktober 2021

Inklusi dan Komunikasi Perubahan Sosial

    Sejalan dengan Visi Pembangunan Kota Yogyakarta terkait Meneguhkan Kota Yogyakarta sebagai Kota Nyaman Huni dan Pusat Pelayanan Jasa yang berdaya saing kuat untuk pemberdayaan masyarakat dengan berpijak pada nilai keistimewaan, Pemerintah Kota Yogyakarta berkomitmen  untuk terus mendorong kota Yogyakarta sebagai Kota Inklusi. Keseriusan tersebut telah di apresiasi oleh Staf Khusus Presiden RI Angkie Yudistia pada tahun 2020 karena telah berhasil membuat 10 kecamatan di Yogyakarta sebagai daerah Inklusi.  Dan ditargetkan pada 2022 mendatang akan ada sekitar 85 sekolah Inklusi. Hal tersebut tentunya membawa dampak positif sekali terutama bagi kaum penyandang disabilitas (kaum rentan) dan mengurangi tindakan buruk akibat adanya diskriminasi bagi kaum rentan.

            Tidak hanya dari segi fasilitas dan pembangunan yang terus diperbaharui, pemerintah Kota Yogyakarta juga gencar melakukan aksi workshop terkait persiapan Kota Yogyakarta menuju Kota Inlkusi kepada masyarakat sekitar untuk ikut berpartisipasi aktif dalam program pemerintah tersebut. Diantaranya adalah Dinas Sosial Kota Yogyakarta yang menggelar Workshop “Menuju Kota Inklusi Melalui FKI” dan Pemerintah Daerah (PEMDA) yang menggelar Workshop Temu Inklusi #3 dengan Tema “Menuju Indonesia Inklusif 2030 melalui Inovasi Kolaboratif “. Workshop tersebut diadakan dengan menghadirkan stakeholder utama yaitu pemerintah, organisasi kemasyarakatan, organisasi difabel, dan masyarakat setempat. Diharapkan kedepannya dengan adanya workshop tersebut mampu memunculkan aspirasi, inovasi, dan praktik nyata dalam mewujudkan wilayah inklusi.

            Meninjau dari segi Komunikasi Perubahan Sosial melalui target yang ada jelas bahwa Yogyakarta yang bergerak menuju wilayah Inklusi yang telah diakui bahkan terus berinovasi telah mencapai bahkan melebihi target yang ada. Mengacu pada tokoh Burhan Bungin yang melihat perubahan social dari segi pluralitas dan heterogenitas, secara system social, agama dan budaya program pemerintah Yogyakarta Menuju Wilayah Inklusi telah mencapai kata perubahan social dimana disetiap programnya telah melibatkan masyarakat secara luas bahkan memberikan kesadaran baru bahwa masyarakat normal dan kelompok disabilitas (kelompok rentan) mampu dan sanggup untuk hidup berdampingan. Tentunya demi menjadikan Kota Yogyakarta sebagai Kota yang Nyaman Huni Pemerintah telah mengupayakan banyak hal tidak hanya dari apa yang saya sebutkan diatas.